BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Dalam pandangan para
mutakallimin, seringkali perbincangan tentang manusia hampir selalu berujung
pada tema-tema relasi teologis, seperti hubungan antara makhluk dengan Kholik.
Tema-tema seperti itu, meskipun berat untuk dipikirkan, selalu menarik untuk di
bicarakan paling tidak karena dua alasan. karena manusia pada dasarnya
merupakan makhluk religius, makhluk yang memiliki kesadaran keberagamaan yang
pada tingkat tertentu dapat menjadi spirit yang sangat dominan.
Munculnya kekuatan
religi ini pada manusia sekaligus mencerminkan adanya batas-batas kehendak
manusia, yang karena ketidakberdayaannya ia menjadi makhluk yang sangat
fatalistic, dan hanya bergerak pada ketergantungan spiritual yang hampir tidak
mengenal batas. Dalam sejarah peradaban umat manusia, watak teologis seperti
ini pernah dituduh sebagai sumber utama ketertinggalan dan keterbelakangan.
Selanjutnya, manusia
juga pada saat yang sama merupakan makhluk rasional, makhluk yang berdasarkan
fitrah penciptaannya dipandang memiliki kelebihan eksklusif. Fasilitas akal
yang sengaja dianugerahkan Tuhan kepada manusia telah membentuk dirinya sebagai
makhluk yang bebas dan merdeka.
Pola-pola berpikir
teologis di atas, tanpa disadari kini telah melengkapi khazanah pemikiran Islam
yang sangat progresif. Bahkan lebih dari itu, kehadiran produk berpikir
tersebut, telah pula membentuk “semacam” madhab teologi yang secara dikotomik
terbelah pada kekuatan Qodariah dan Jabariah. Seperti apa yang telah
diterangkan pada posisi atau kondisi kejadian Qodariah, kehendak Tuhan
terlaksana melewati kehendak manusia. Pada posisi atau kondisi kejadian
Jabariah, kehendak Tuhan terlaksana melewati kehendak kompleks yaitu kehendak
alam lingkungan yang unsurnya komplek, dimana manusia juga menjadi salah satu
unsurnya.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana
pengertian jabariah dan sejarah Jabariah?
2.
Bagaimana
tokoh-tokoh dan Ajaran Jabariyah?
3.
Bagaimana
Ciri-ciri dari Jabariyah?
4.
Apakah
pokok-pokok Ajaran Jabariah?
C.
TUJUAN MAKALAH
1.
Diharapkan
mahsiswa Mengetahui Pengertian Jabariyah dan Sejarah jabariyah.
2.
Dapat Mengetahui
Tokoh-tokoh dan Ajaran Jabariyah.
3.
Mahasiswa dapat
Memahami Ciri-ciri dari Jabariyah.
4.
Mahasiswa dapat
Menganalisis Pokok-pokok Ajaran Jabariyah.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Jabariyah
Jabariyah berasal dari
kata yabara, berarti memaksa atau terpaksa. Menurut al-Syahrastani, al-jabr
berarti meniadakan perbuatan manusia da-lam arti yang sesungguhnya (nafy
al-fi'l 'an al'abd haqiqah) dan menyan-darkan perbuatan itu kepada Tuhan. Menurut
paham ini, manusia tidak kuasa atas sesuatu. Karena itu, manusia tidak dapat
diberi sifat "mampu" (istitha'ah). Manusia sebagai dikatakan Jahm ibn
Shafwan, terpaksa atas perbuatan-perbuatannya, tanpa ada kuasa (qudrah),
kehendak, (iradah), dan pilihan bebas (al-ikhtiyar). Tuhanlah yang menciptakan
perbuatan ma¬nusia, sebagaimana perbuatan Tuhan atas benda-benda mati. Oleh
karena itu, perbuatan yang disandarkan kepada manusia harus dipahami secara
majazy, seperti halnya perbuatan yang disandarkan pada benda-benda. Misalnya
ungkapan, "Pohon berbuah, air mengalir, dan batu bergerak.
Secara istilah Jabariah
adalah suatu golongan yang mengatakan segala perbuatan manusia sesungguhnya
datang dari Allah dengan kata lain segala perbuatan manusia terpaksa dilakukan.
Jadi nama Jabariah diambil dari kata jabara yang mengandung arti terpaksa.
Memang dalam aliran ini, sebagai dijelaskan Harun Nasution, terdapat paham
bahwa manusia mengerjakan perbuatan nya dalam keadaan terpaksa. Dalam istilah
Inggris, paham ini disebut fatalisme atau predistina-tion. Perbuatan-perbuatan
manusia telah ditentukan sejak semula oleh qada dan qadar Tuhan.
Orang-orang yang tidak
mengakui kebebasan manusia inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan
"Kaum Jabariyah". Para penulis Mu'-tazilah memasukkan aliran
Ahlal-Sunah dan Asy'ariyah ke dalam kelompok Jabariyah. Akan tetapi, para
penulis dari pihak Asy'ariyah, termasuk al-Syahrastani, menolak pengelompokan
itu. Bagi al-Syahrastani, orang yang menetapkan kasb pada manusia tidak dapat
disebut Jabariyah. Anehnya, al-Syahrastani sendiri memasukkan kelompok
al-Najjariyah dan al-Dirariyah ke dalam aliran Jabariyah. Padahal, aI-Najjar
maupun al-Dirar termasuk orang yang memajukan teori kasb itu.
Jabariah, Madzhab ini
muncul bersamaan dengan kehadiran Qadariyah di daerah Kurasan, adalah aliran di
ilmu kalam yang berpandangan bahwa segala yang wujud di alam semesta, termasuk
manusia, terikat pada kodrat dan irodat Allah SWT semata. Jabariah adalah
pemahaman yang mengatakan bahwa amal shalih bukanlah sebab masuknya kita ke
sorga dalam segala hal, dan sebaliknya adalah Qadariyah, yang meyakini bahwa
sorga adalah bayaran dari amal kita secara mutlak. dan kedua faham ini batil,
bahwa kita beramal dan Allah swt menentukan diterimanya amal itu atau tidak.
tentunya kita tak berpangku tangan, tidak pula mengandalkan amal untuk
memastikan masuk sorga dan bebas dari neraka.
2.
Sejarah Jabariah
Pola pikir Jabariyah kelihatannya sudah dikenal
bangsa Arab sebelum Islam. Keadaan mereka yang bersahaja dengan lingkungan alam
yang gersang dan tandus, menyebabkan mereka tidak dapat melakukan
perubahan-perubahan sesuai dengan kemauan mereka. Akibatnya, mereka lebih
bergantung pada kehendak alam. Keadaan ini membawa mereka pada sikap pasrah dan
fatalistik.
Pada masa Nabi, benih-benih paham Jabariyah itu
sudah ada. Perdebatan di antara para sahabat di seputar masalah qadar Tuhan
merupakan salah satu indikatornya. Rasulullah saw. menyuruh umat Islam beriman
kepada takdir, tetapi beliau melarang mereka membicarakannya secara mendalam.
Pada masa sahabat (Khulafa at-Rasyidin) kelihatannya sudah ada orang yang
berpikir Jabariyah. Diceritakan bahwa Umar ibn al-Khatab pernah menangkap
seorang pencuri. Ketika diintrogasi, pencuri itu berkata, "Tuhan telah
menentukan aku mencuri." Umar menghukum pencuri itu dan mencambuknya
berkali-kali. Ketika keputusan itu ditanyakan kepada Umar, ia menjawab:
"Hukum potong tangan untuk kesalahannya mencuri, sedang cambuk (jilid)
untuk kesalahannya menyandarkan perbuatan dosa kepada Tuhan.
Pada masa pemerintahan Bani Umayah, pandangan
tentang jabar semakin mencuat kepermukaan. Abdullah ibn Abbas dengan
suratnya,memberi reaksi keras kepada penduduk Siria yang diduga berpaham
Jabariyah. Hal yang sama dilakukan pula oleh Hasan Basri kepada penduduk
Basrah. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pada waktu itu sudah mulai banyak orang
yang berpaham Jabariyah.
Dari bukti-bukti di atas dapat dikatakan bahwa
cikal-bakal paham Jabariyah sudah muncul sejak awal periode Islam. Namun,
Jabariyah sebagai suatu pola pikir (mazhab) yang dianut, dipelajari, dan
dikembangkan terjadi pada akhir pemerintahan Bani Umayah.[38] Paham ini
ditimbulkan buat pertama kalinya oleh Ja'ad ibn Dirham. Akan tetapi yang
menyebarkannya adalah Jahm ibn Shafwan. Ja'ad sendiri menerima paham ini dari
orang Yahudi di Siria. Pendapat lain menyatakan bahwa Ja'ad menerimanya dari
Aban ibn Syam'an, dan yang terakhir ini menerimanya dari Thalut ibn
Ashamal-Yahudi.Dengan demikian, paham Jabariyah berasal dari pemikiran asing,
Yahudi maupun Persia. Sungguh-pun demikian, di dalam al-Qu'ran sendiri terdapat
ayat-ayat yang dapat dibawa pada paham Jabariyah. Misalnya, ayat-ayat berikut
ini:
Artinya: Mereka sebenarnya tidak
percaya sekiranya Allah tidak menghendaki. (QS. al-An'am: 112).
Artinya:
Bukanlah engkau yang melontar ketika engkau melontar (musuh), tetapi Allahlah
yang melontar (mereka). (QS. al-Anfal: 17),
3.
Tokoh-tokoh dan Ajaran Jabariah
a.
Ja’ad bin Dirham
Ja'ad adalah orang
pertama yang mengenalkan paham Jabariyah di kalangan umat Islam, la seorang
bekas budak (mawla) Bani Hakam. Ia tinggal di Damsyik sampai muncul pendapatnya
tentang al-Qur'an sebagai makhluk. Karena pendapatnya ini, ia dibenci oleh Bani
Umayah. Sejak itu, ia pergi ke Kufah. Di tempat ini ia bertemu dengan Jahm ibn
Shafwan yang kemudian mengambil pendapat-pendapat-nya dan menjadi pengikutnya
yang setia.
Pendapat yang dimajukan
Ja'ad meliputi masalah kalam Tuhan, sifat-sifat Tuhan, dan masalah takdir.
Menurut Ja'ad, al-Qur'an adalah makhluk, la merupakan orang pertama yang
memajukan pendapat itu di Damsyik. la juga berpendapat bahwa Tuhan tidak
memiliki sifat. Artinya, Tuhan tidak dapat diberikan sifat-sifat yang dapat
disandarkan kepada makhluk, seperti sifat kalam atau lawannya (bisu). Sebab,
kedua sifat ini dapat disandang oleh manusia. Dalam hal takdir atau perbuatan
manusia, Ja'ad berpendapat bahwa segala perbuatan manusia sudah ditentukan oleh
Tuhan. Manusia terpaksa atas perbuatan-perbuatannya.
b.
Jahm bin Shafwan
Jahm termasuk muslim
non Arab (mawali). la berasal dari Khurasan. Mula-mula ia tinggal di Tirmidz,
lalu di Balkh. Namanya terkadang dinisbatkan ke Samarkand, terkadang pula ke
Tirmidz. la dikenal ahli pidato dan pandai berdialog. la pernah terlibat
perbedaan dengan Muqatil. Muqatil termasuk orang yang mengakui sifat-sifat
Tuhan, sedang Jahm tidak. Keduanya terlibat perbedaan sengit.
Menurut Jahm, manusia
tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat apa-apa. la tidak mempunyai daya, tidak
mempunyai kehendak, dan tidak mempunyai pilihan bebas. Manusia dalam
perbuatan-perbuatannya dipaksa dengan tidak ada kekuasaan dan kemauan baginya.
Pandangan ini ter¬masuk dalam pola pikir Jabariyah ekstrim. Jahm juga berpendapat bahwa Tuhan tidak memiliki
sifat. Sebagai mana Ja'ad, Jahm juga berpendapat bahwa Tuhan tidak dapat
disifati dengan sifat-sifat makhluk. Sebab, hal ini dapat menimbulkan
keserupaan Tuhan dengan makhluk (tasybih). la meniadakan sifat hayat dan ilmu
Tuhan, tetapi ia mengakui bahwa Tuhan Mahakuasa, Pelaku, dan Pencipta.
c.
Husain Alnajjar
Husain al-Najjar
merupakan salah seorang tokoh Jabariah moderat. Pengikut-pengikutnya dikenal
dengan sebutan "Al-Najjariyah". Menurut Hu¬sain, Tuhan berkehendak
dan mengetahui karena diri-Nya sendiri. la menghendaki kebaikan dan keburukan,
manfaat dan madarat. Yang dimaksud berkehendak di sini ialah bahwa Tuhan tidak
terpaksa atau dipaksa. Husain juga berpendapat bahwa Tuhan menciptakan segala
perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian dalam mewujudkan
perbuatan-perbuatan itu, suatu bagian yang efektif dan bukan bagian yang tidak
efektif.. Inilah yang dinamakan kasb dalam teori al-Asy'ari.
d.
Dirar bin ‘Amr
Dalam pandangan Dirar
satu perbuatan dapat timbul dari dua pelaku, yaitu Tuhan dan manusia. Tuhan
menciptakan perbuatan, dan manusia memperolehnya. Tuhan adalah Pencipta hakiki
dari perbuatan manusia. Dalam pada itu, manusia juga pelaku hakiki dari
perbuatannya. Daya manusia menurut Dirar diberikan Tuhan sebelum dan bersamaan
dengan perbuatan.
Dirar berpendapat bahwa
Tuhan dapat dilihat di akhirat, tetapi bukan dengan mata kepala seperti dalam
paham Asy'ariyah, melainkan dengan apa yang ia sebut sebagai "indera
keenam" (al-Hassah al-Sadisah). la juga berpendapat bahwa argumen (hujjah)
yang dapat diterima setelah wafat Nabi hanyalah konsensus (al-ijm'). Hadis ahad
(tidak mufawatir) tidak dapat dijadikan sumber dalam menetapkan hukum-hukum
agama.
4.
Ciri-ciri Ajaran Jabariah
1.
Bahwa manusia
tidak mempunyai kebebasan dan ikhtiar apapun, setiap perbuatannya baik yang
jahat, buruk atau baik semata Allah semata yang menentukannya.
2.
Bahwa Allah
tidak mengetahui sesuatu apapun sebelum terjadi.
3.
Ilmu Allah
bersifat Huduts (baru).
4.
Iman cukup dalam
hati saja tanpa harus dilafadhkan.
5.
Bahwa Allah
tidak mempunyai sifat yang sama dengan makhluk ciptaanNya.
6.
Bahwa surga dan
neraka tidak kekal, dan akan hancur dan musnah bersama penghuninya, karena yang
kekal dan abadi hanyalah Allah semata.
7.
Bahwa Allah
tidak dapat dilihat di surga oleh penduduk surga.
8.
Bahwa Alqur'an
adalah makhluk dan bukan kalamullah.
5.
Pokok Pikiran Jabariah
a.
Manusia tidak
mampu berbuat apa-apa. Bahwa segala perbuatan manusia merupakan paksaan dari
Tuhan dan merupakan kehendak-Nya yang tidak bisa ditolak oleh manusia. Manusia
tidak punya kehendak dan pilihan. Ajaran ini dikemukakan oleh Jahm bin Shofwan.
b.
Surga dan neraka
tidak kekal, begitu pun dengan yang lainnya, hanya Tuhan yang kekal.
c.
Iman adalah
ma’rifat dalam hati dengan hanya membenarkan dalam hati. Artinya bahwa manusia
tetap dikatakan beriman meskipun ia meninggalkan fardhu dan melakukan dosa
besar. Tetap dikatakan beriman walaupun tanpa amal.
d.
Kalam Tuhan
adalah makhluk. Allah SWT Mahasuci dari segala sifat keserupaan dengan
makhluk-Nya, maka Allah tidak dapat dilihat meskipun di akhirat kelak, oleh
karena itu Al-Qur’an sebagai makhluk adalah baru dan terpisah dari Allah, tidak
dapat disifatkan kepada Allah SWT.
e.
Allah tidak
mempunyai sifat serupa makhluk seperti berbicara, melihat, dan mendengar.
f.
Tuhan
menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia berperan dalam mewujudkan
perbuatan itu. Teori ini dikemukakan oleh Al-Asy’ari yang disebut teori kasab,
sementara An-Najjar mengaplikasikannya dengan ide bahwa manusia tidak lagi seperti
wayang yang digerakkan, sebab tenaga yang diciptakan Tuhan dalam diri manusia
mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya.
BAB III
PENUTUP
1.
KESIMPULAN
Paham Jabariyah memandang manusia
sebagai makhluk yang lemah dan tidak berdaya. Manusia tidak sanggup mewujudkan
perbuatan-perbuatannya sesuai dengan kehendak dan pilihan bebasnya. Pendeknya,
perbuatan-perbuatan itu hanyalah dipaksakan Tuhan kepada manusia. Pa-ham
Jabariyah terpecah ke dalam dua kelompok, ekstrim dan moderat. Ja'ad ibn Dirham
dan Jahm ibn Shafwan mewakili kelompok eksirim. Sedang Husain al-Najjar dan
Dirar ibn 'Amr mewakii kelompok moderat. Dalam perkembangannya, paham Jabariyah
dengan kedua cabangnya berinte-grasi dengan paham Asy'ariyah.
DAFTAR PUSTAKA
DR.
Abdul Razak, M.Ag, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung : 2009
Harun
Nasution, Teologi Islam, UI-Press, Jakarta : 1986
www.scribd.com/doc/38617460/Jabariah-Dan-Qodariah
bara-aliranjabariyah.blogspot.com/
15 Nov 2009
http://cakrowi.blogspot.com/.../kajian-ilmu-kalam-qadariah-dan-jabariah.ht...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar